Halo
teman-teman semua! Bagaimanakah kabar kalian semua? It had been such a long time since I posted the last story. Oh iya,
Minal Aidzin Walfaidzin ya.
Minggu-minggu
kemarin atau bulan lalu adalah sebuah titik klimaks bagi saya sendiri. Ada
banyak sekali kejadian yang benar-benar membuat saya down. However, is not it a
part of life? Bisa dikatakan saya telah sembuh dari sindrom yang namanya
“KECEWA”. Hidup memang dipenuhi dengan rasa kecewa, menyesal, kesedihan,
kesenangan, dan lain-lain. Namun terkadang itulah yang membuat hidup seolah
mempunyai warna layaknya pelangi. Dari merah sampai ungu merepresentasikan
makna dari masing-masing warna.
1
Juli 2014 adalah tanggal yang sepertinya tak akan terlupakan, indeed. Saya masih teringat ketika
terisak tangis di kamar mandi seorang diri di dekanat teknik. Hari itu adalah
hari pengumuman sebuah lomba menulis yang berhadiah ke Inggris. Jujur, saya
benar-benar jungkir balik dalam mengukuti lomba itu. Setiap hari tak kurang 75
halaman saya membaca tulisan-tulisan peserta lain yang telah disubmit. Saya membacanya dengan tujuan
untuk membandingkan dan mendapat inspirasi dari setiap tulisan. Saya percaya
sejelek-jelek sebuah tulisan, pasti ada suatu pelajaran yang bisa diambil.
Lebih dari itu, saya melihat peluang dari tulisan saya. Total ada lebih dari
1000 tulisan yang mengikuti lomba ini, dengan empat judul yang saya sumbangkan.
Masing-masing judulnya adalah Kebelet ke
Old Trafford, Inggris: Negeri Sejuta
Kharisma, Teropong Pengintip Inggris, dan Englandichus
Kebeletichus. Jika Anda ingin membaca tulisan saya, coba cek di label
“lomba”. Perjuangan saya tak hanya sekadar membaca tulisan-tulisan peserta yang
telah disubmit tapi juga saya
menghubungi beberapa penulis dari FLP Malang untuk mengomentari tulisan-tulisan
saya, termasuk mbak Noor Titan (mahasiswa MIT). Saya bahkan menomerduakan tugas
dan mata kuliah demi merevisi tulisan saya yang berkali-kali ini. Hasilnya? Ya pasti
Anda tahu sendiri, bisa dilihat dari judul postingan
ini. Di hari itu juga, saya dipersulit oleh beberapa pihak untuk menyelesaikan
berkas-berkas beasiswa. Ketika saya berdebat dengan pihak tersebut, tiba-tiba
datang seorang mahasiswa yang membatalkan beasiswanya dikarenakan ia juga
mendapat beasiswa lain. Sementara, saya sampai sekarang belum bisa mendapat
beasiswa. Miris sekali. Di saat yang lain membatalkan beasiswa, di sisi lain
ada pihak yang memperjuangkannya. Di sisi lain juga, pihak tersebut harus
menerima kenyataan bahwa impiannya ke Inggris telah benar-benar pudar. Kelihatannya
masalah tersebut sederhana tapi sesungguhnya tak sesederhana itu. Setelah
beberapa kali merevisi, tulisan saya dipuji bagus. Bahkan ada peserta yang
memberi komen bagus tentang tulisan saya. “Wah, masuk final nih,” katanya. Mimpi memang hanya sekadar mimpi. Tulisan saya
juga masuk dalam 75 besar. Bagaimana saya tidak berharap?
Setelah
kejadian itu, saya sedikit menjauhkan diri dari siapa pun termasuk keluarga.
Bukan apa-apa, saya hanya terlalu sedih dan merasa hidup ini tidak adil.
Maklum, orang depresi. Kegagalan sepertinya menjadi sahabat saya sekarang.
Sebelum lomba ini saja, saya mengirim lebih dari 20 tulisan. Hasilnya? Ya
begitulah. Sedih? Pasti. Kecewa? Pasti, karena saya seorang manusia yang
mempunyai hati, yang bisa merasakan apa yang dinamakan kekecewaan. Kata
orang-orang, sebut saja motivator, bahwa kegagalanmu akan membawamu ke sebuah
kesuksesan. Apakah hal itu berlaku kepada saya? Entahlah. Setelah kejadian itu,
saya melamar menjadi seorang asisten laboratorium. Namun saya gagal di tes
wawancara. Lalu, saya mengikuti Beasiswa Djarum dan lomba menulis berhadiah ke
China. Dua hari lalu saya gagal lolos tes tulis dari beasiswa Djarum. Dan tepat
hari ini, saya juga gagal memenangkan lomba ke China. Sedih? Tak perlu dijawab.
Namun sepertinya saya sudah terbiasa dengan yang namanya kegagalan. Sakit
sekali. Terkadang saya merasa manusia itu memang harus kecewa dan menyesal.
Mengapa? Karena kita telah berusaha sangat keras. Manusia mana yang tidak
kecewa ataupun sedih jika ia gagal memenuhi ambisinya padahal usahanya tak ada
hentinya? Tidak ada, Kan? Namun yang perlu digarisbawahi adalah
bagaimana kita bisa cepat bangkit dan bersemangat lagi. Perasaan depresi memang
sangat wajar. Sebaik dan sesabar apa pun seseorang, pasti ia akan merasakan
kecewa dan sedih bahkan depresi. Namun, yang membedakannya adalah bagaimana ia
berhasil bangkit dengan cepat. Begitupun dengan saya. Saya benar-benar
merasakan apa itu yang dinamakan sakit hati, bukan karena pacar, tapi
dikarenakan kegagalan.