KETIKA SOSIAL MEDIA MENJADI AJANG FITNAH
00.09
Hoax
merupakan kata yang sangat populer akhir-akhir ini. Berita hoax melintas dimana-mana. Namun, sebelum berbicara mengenai hoax, alangkah lebih baik jika kita
mengetahui apa itu hoax. Hoax menurut Cambridge dictionary adalah “A
plan to deceive someone” atau suatu rencana untuk menipu seseorang (bisa
tunggal atau jamak). Dalam singkatnya bisa dibilang dengan “menyebar kabar tak
benar/bohong.” Mungkin jika bohongnya masih level receh kayak “Eh Big Bang bakal konser di Indonesia lho”
padahal itu tidak benar, sih masih bisa dimaafkan dan dimaklumi lah ya. Namun
kalau sudah menyangkut kabar seseorang yang tak benar? Jadinya fitnah. Balik
lagi ke aturan Agama Islam bahwa fitnah adalah lebih kejam dari pembunuhan. Ini
pernyataan saya bukan hoax ya, mari
kita lihat ayatnya jika tak percaya:
“…… Dan fitnah lebih kejam dari pembunuhan….”
(Al-Baqarah: 191) -> Bisa dibuka Al-Quran
terjemahannya.
By the way,
memang di era sekarang susah sekali membedakan mana yang benar dan mana yang
salah. Seolah-olah gampang banget
membolak-balikkn fakta. Orang yang bersalah dengan mudahnya berkeliaran di
jalan, dan orang yang benar harus mendekam di penjara. Apalagi dengan era
pilkada seperti sekarang, hoax sumpah
mudah banget disebar. Dan sayangnya, masyarakat gampang percaya, tak terkecuali
mahasiswa. Mereka mudah sekali percaya dengan berita dari Whatssap yang awalnya biasanya ada pernyataan “Copas dari grup sebelah.” Grup yang mana nih ya? *garuk kepala.
Dulu sempat saya juga percaya sama kabar yang beredar di WA tapi
saya mikir dan mencoba memfilter ke-logicalnya. Akhirnya saya tak pernah
sekalipun percaya lagi, tapi masih baca dan cuma ketawa-ketawa saja. Tbh sih,
yang paling parah atau toxic itu Twitter. Sudah saya hanya geleng-geleng
kepala, para troll account dengan
mudahnya mengedit dan menyabar berit hoax,
dan sayang terkadung sayang, masyarakatnya DENGAN SANGAT AMAT MUDAHNYA PERCAYA
(Ini contoh penulisan yang salah karena penggunaan kata sinonim yang
berlebihan, jangan ditiru). And when I
saw people were arguing over those hoax issues, I was just like “Don’t you have
any business? Like your opinion matters”. Beropini sih ok lah, tapi kalau
sampai mendowngrade orang lain tanpa
ada bukti yah Wassalam.
Jika kita menggunakan hati nurani dan pikiran, seperti yang
dijelaskan di Surah Al-Baqarah bahwa
fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Berarti untuk kalian-kalian (khususnya troll account, trash account atau apapun
namanya) yang suka menyebar fitnah, dosa kalian terhitung seperti membunuh banyak
orang. Masih sanggup kah bertemu Tuhan kelak di akhirat? Dengan excuse kalian yang hanya mementingkan
dunia, alias “demi uang”. Like come on,
don’t be hypocrite (paling benci sama
orang munafik).
Kangen sama sosial media jaman dulu ketika Facebook masih berisi status dan foto tentang keluarga, kerabat,
teman, dan lain-lain. Kita-kita masih komen-komenan nggak jelas, tapi nggak
memfitnah pastinya. Kangen masa-masa komen foto tentang pencapaian, keluarga,
atau status galau (hayo buat siapa ini? Tipikal banget ya generasi galau alias
mikir nggak jelas). Kalau saya dulu sih palingan statusnya tentang Manchester United, sampai-sampai bikin
album khusus buat MU beserta para soul mate
mereka (my dedication though). Dan
yang paling lucu ketika saya memprediksi score
pertandingan beberapa klub dan itu banyak benernya. Ahahha. Dan guru SMA
sempat bilang “Rosa tadi malam sibuk ngeramal angka” (masa-masa alay). Nggak penting banget sih ya tapi it was SO MUCH BETTER than spreading rumor
issues aka hoax. Sekarang coba buka Facebook,
kebanyakan isinya pasti berita-berita nggak jelas. Mending didelete saja aplikasinya.
Seperti yang saya katakan di awal, Twitter is the worst. Awal-awal coba lihat hashtag, duh beneran nyesel. Isinya Masya Allah. Heran juga sih ya kenapa banyak banget trash akun, terus followersnya banyak lagi. Lah akun saya yang baik-baik aja, angka followersnya cuma segitu dari dulu,
nggak naik-naik (nah just kidding). Sekarang
merambat ke WA, tinggal nunggu IG sama Line
aja kali ya *ngelus dada. Dulu media sosial digunakan sebagai ajang berkomunikasi,
mencari teman lama yang sudah putus kontak, atau sekadar sebagai album mini
mengenai diri kita. Sekarang? Lebih menjurus ke sarana menyebar berita hoax. Buat kita semua, belajar lah untuk
bertanggung jawab setidaknya terhadap apa yang kita ekspresikan. Jika tidak
suka dengan sesuatu/seseorang, mbok ya nggak
usah menyebarkan kabar-kabar bohong, setidaknya nggak usah tahu menahu tentang
hidup orang itu. Lupakan dan anggap she/he
never existed. Nah kalau sudah seperti itu kan lebih menguntungkan, kita
nggak terus-terusan benci dan kita bisa move
on ke sesuatu yang lebih berguna. I
do really miss the old Social Media.
1 komentar
Bagus Kak Ros tulisan nya 👍
BalasHapus