BIAS…
18.33
Hari ini, saya
mendapat mata kuliah PPIC dengan dosen Bu Ike, dosen yang terkenal killer. Well, Bu Ike begitu keren dalam mengajar. Walaupun mendapat nilai
bagus begitu susah (kecuali otak Anda super) tapi cara beliau mengajar begitu
membuatku tidak mengantuk lagi. Maksudku, tidak megantuk lebih tepatnya diganti
dengan frase tidak bisa mengantuk. Bagaimana bisa, rentetan pertanyaan akan
menyerbumu. Jadi, mau tak mau mata dan pikiran harus fokus ke mata kuliah.
Siang hari ini, Bu Ike tidak hanya mengajar mata kuliah PPIC. Beliau
menjelaskan tentang bagaimana kuliah yangs sebenarnya itu. Kata beliau, selama
ini banyak mahasiswa yang mendapat nilai bagus di asisten. Namun ketika maju
dosen, mahasiswa-mahasiswa pengumpul nilai tersebut bahkan tidak bisa menjawab
satu pertanyaan dari beberapa pertanyaan yang diajukan. Oh yeeee, berarti nilai
di kartu asistensi tersebut nilai dari mana? Belas kasih asisten karena tugas
kita yang menumpuk? Tidak bisa disalahkan juga karena mereka (asisten) juga
pasti mengalami hal yang sama.
Kata Bu Ike nilai
itu hanya pemuas dalam kuliah saja. Aku benar-benar setuju dengan hal ini (haha, penghibur untuk nilaiku yang
pas-pasan). Nilai adalah tanggung jawab. Nilai ini akan benar-benar diuji
ketika bekerja. Semua tahu bahwa nilai bukanlah segalanya namun semuanya butuh
nilai. Misalnya ketika Anda melamar pekerjaan, pasti ada batas minimum nilai.
Atau ketika ada perusahaan yang mau merekrut salah satu mahasiswa, pasti
dilihat nilainya yang tertinggi. Hal ini berlaku untuk beasiswa. Nilai dan uang
adalah sama. Dua-duanya membuat kecanduan. Manusia bisa melakukan apa saja
untuk mendapat uang atau memperoleh nilai yang bagus. Pendapat ini memang
sangat subjektif, masih sangat bias.
Kita sebagai
mahasiswa juga tak bisa menyangkal bahwa kita butuh nilai. Hal ini kenapa?
Orang tua. Iya, itulah jawabannya. Salah satu cara kita membalas kebaikan orang
tua adalah dengan mendapat nilai bagus atau prestasi. Permasalahan di dunia memang
sangat bias. Andai saja permasalahan jni bisa dikasih tanda mutlak, pasti
hasilnya selalu positif. Jika semua hasil di dunia positif, peradaban manusia
akan hancur. Semua yang ada dunia telah mempunyai pasangan masing-masing. Salah
satunya berfungsi sebagai penyeimbang. Ada baik dan buruk, positif dan negatif,
cantik dan jelek, dan masih banyak lain. Tuh kan, awalnya membahas nilai tapi
lama-kelamaan malah merambah ke ilmu lain. Inilah permasalah dunia. Semua yang
ada dunia pasti saling berkaitan, seberapa kecil pun hal tersebut.
Terkadang, kita manusia pasti mempunyai rasa
tak puas dengan diri kita sendiri. Kita ingin menjadi pintar seperti misalnya
si A tapi ya kita beda otak, ya pasti hasilnya beda. Kita ingin menjadi seperti
si B yang seorang pebisnis muda namun lagi-lagi kita manusia dengan kapasitas
tingkat kerajinan yang berbeda. Malah terkadang kita ingin menjadi si C yang
tak pernah belajar tapi nilainya selalu bagus. Itu namanya cerdas. Siapa sih
yang tak mau menjadi cerdas? Modal otak saja sudah cukup. Namun apakah semua
itu dikur dari hasil? Kuliah harus lulus 3.5 tahun dengan IP cumlaude. Realisitis? Realisitis kok.
Namun jangan lupa tingkat kerajinannya harus ditambah.
Berbicara mengenai
usaha dan hasil, aku teringat kajian IMC (Industrial
Moeslem Communityi) hari Minggu kemarin. Pak L. Tri, sebagai pembicara,
bahwa berbicara konsep proses dan hasil adalah berbeda. Dua-duanya penting,
hanya saja cara sudut pandang saja yang berbeda. Hasil adalah sebuah target
yang WAJIB dicapai dengan cara Anda, terserah. Namun jika kita melihat dari
sudut pandang usaha, maka proses yang akan dilihat. Jadi untuk mendapat
sesuatu, harus jelas target dan prosesnya. Misalnya, “Aku ingin lulus dengan
IPK 4 dalam kurun waktu 4 tahun.” Coba bandingkan dengan ini, “Saya ingin lulus
kuliah empat tahun dengan usaha yang makimal.” Lihat, dua-duanya mempunyai
tujuan yang sama tapi beda, Kan? Namun jika Anda menggabungkan keduanya
seperti, “Saya ingin lulus dalam waktu 4 tahun dengan usaha maksimal.” Sounds better, doesn’t it?
Kesimpulannya,
semua kembali ke individu masing-masing. Persepsi manusia berbeda-beda. Hal itu
justru membuat hidup menjadi berwarna. Bayangkan saja jika dunia ini terasa flat. Misalkan semua orang di dunia
tercipta baik. Lantas, bagaimana dunia bisa seimbang? Aku tak mengatakan bahwa
kejahatan itu perlu, hanya saja semua ada masanya. Makanya kita harus berdoa
agar kita termasuk umat yang baik. Masa semuanya yang akan menjadi konstan
adalah masa akhir dunia. Pada akhir dunia, semua akan mampunyai persepsi sama.
Intinya, sesuatu tersebut telah mempunyai porsinya masing-masing. Kita sebagai
manusia, hanya bisa memperbaiki dan berdoa yang terbaik untuk semua umat.
Kebiasan ini yang membuat manusia berpikir keras, dan pada akhirnya kebiasan
tersebut akan terjawab oleh waktu.
0 komentar