Ibarat mau menjadi Direktur perusahaan, harus memulai dari posisi
bawah dahulu. Kurang lebih seperti itulah cerita yang akan saya sampaikan di
sini. Terlahir di keluarga yang belum mengenal agama memang bukan takdir yang
diinginkan oleh setiap orang. Kakek dan nenek dari ibu beragama Kristen, namun Alhamdulillah ibu beragama Islam sejak
lahir dan menikah dengan ayah yang beragama Islam juga. Ibu mempunyai lima
saudara, dengan 2 kakak beragama Kristen dan sisanya beragama Islam. Karena lahir
dari kedua orang tua yang beragama Kristen, tentunya ibu tak pernah mendapat
sentuhan agama Islam sampai dewasa. Ayah dengan kondisi yang juga pas-pasan
(terbatas dalam ilmu agama) akhirnya menikah karena dijodohkan, katanya.
Akhirnya saya dan kakak lahir, tumbuh dengan bekal agama seadanya. Dulu nenek
suka mengajak pergi ke gereja namun selalu saya tolak, entah mengapa padahal
terkadang saya merasa tertarik masuk. Karena hidup di lingkungan Islam, saya
ikut-ikutan teman-teman untuk mengaji walaupun tak mengerti tujuannya kala itu.
Bisa dikatakan, saya adalah orang pertama yang bisa membaca huruf Arab di
keluarga.
Ketika menginjak Sekolah Mengengah Atas (SMA), saya mempertimbangkan
untuk memakai hijab. Alasannya pun
bukan karena Allah SWT melainkan karena saya tak suka memakai pakaian yang pas.
Detailnya seperti ini, saya dari kecil mempunyai sifat tak suka dengan
barang-barang yang berukuran pas badan. Misalnya baju, saya pasti membeli
ukuran baju yang besar. Mengapa? 1. Bisa tahan lama, jadi tidak perlu beli dalam jangka waktu pendek (Hahaha kecil2, mikirnya sok ekonomis). 2. Karena saya merasa
tidak nyaman. Begitupun dengan sepatu dan barang-barang lainnya. Intinya, saya
benci dengan pakaian terbuka (bukan karena larangan agama melainkan karena
kenyamanan). Menurut saya, mengenakan pakaian pas itu tidak nyaman. Di saat
teman-teman memakai celana ¾ atau celana pensil, saya memilih memakai celana
lurus yang besar dan memakai atasan panjang, seperti baju muslim. Lama-lama
saya merasa aneh, karena tipe baju seperti ini biasanya dipakai oleh anak-anak
yang memakai hijab. Sejak saat itu,
saya memutuskan untuk memakai hijab. Jika kita berpikir dengan logika, larangan2 Allah SWT memang untuk proteksi diri. Namun, sayangnya pikiran manusia (perempuan) tertutup oleh trend dan perasaan ingin diperhatikan orang. Hm... Sekarang banyak perempuan yang beropini kalau mereka bebas berpakaian atau tidak, dan laki-laki tidak berhak menghakimi atau merasa tertarik karena penampilan mereka. Bingung sih maksud pemikirannya itu. Lain kali, sepertinya saya akan membuat postingan tentang ini. Sekarang fokus cerita saya dulu.
Hidup dalam keluarga yang tak mengenal agama
sangatlah tidak menyenangkan. Tak pernah terdengar suara mengaji, ibaratnya tak
ada kesejukan. Karena ada saja masalah yang datang, akhirnya ibu mulai untuk
mendekatkan diri ke Allah SWT dengan cara belajar mengaji. Ibu baru bisa
mengaji ketika beliau mempunyai dua anak. Bukankah lebih baik terlambat
daripada tidak sama sekali? Entah mengapa, sejak di SMA saya menjadi rajin beribadah dan bahkan puasa
Senin-Kamis. Dan bisa dikatakan saya sangat kuat karena jadwal olahraga kelas
adalah hari Senin. Dengan jarak antara rumah-sekolah sekitar 20 km, lalu
upacara, dilanjutkan olahraga entah mengapa saya tak pernah merasa tidak kuat.
Mungkin ini adalah efek penggunaan hijab, seperti yang saya katakan bahwa saya
berubah drastis setelah memakai hijab.
Dengan alasan ini juga saya selalu menentang orang yang berakata “Jilbabi hati
dulu.” Menurut saya, hati akan luluh dengan hijab
sebagai kebanggaan perempuan muslim. Kita mungkin yang biasanya berbohong,
dengan hijab hati bisa luluh karena
malu dengan hijab yang dipakai. Masa-masa
di SD sampai SMA adalah masa kelam bagi keluar kami, mungkin salah satu
sebabnya karena kurangnya memperhatikan agama. Berbagai masalah datang. Dan
yang bisa kami lakukan hanya pasrah dan berdoa.
Suatu saat, ketika kuliah, saya mengenal organisasi keislaman namanya Al-Hadiid. Bisa dikatakan
saya berubah 180 derajat, dari yang sebelumnya tomboyish menjadi sedikit feminim karena memakai rok panjang. Tak
hanya itu, saya mulai belajar Bahasa Arab, ikut halaqah (yang sebelumnya tak tahu, apa itu halaqah), mendengarkan ceramah, melakukan ibadah sunah, dan
lain-lain. Percaya atau tidak, hidup saya mulai membai, hati tenang, dan hidup
terasa lebih bahagia. Mungkin inilah yang dinamakan dengan knikmatan hidup,
bukan kekayaan, jabatan, atau lainnya. Jujur, ketika ikut Al-Hadiid,
saya merasa malu dengan ilmu pas-pasan yang saya punya. Dibanding yang lain, saya mah tidak ada apa-apanya. Akhwati lain sudah memakai hijab besar, hafal berbagai surah, mengerti Bahasa Arab, dan mampu
berceramah. Sedangkan, saya hanya bermodal mental dan keinginan untuk lebih
baik ketika mengikuti Al-Hadiid. Oleh
karena itu ketika ditunjuk sebagai Pengurus Harian, saya harus berpikir lama.
Tanggung jawabnya besar, entah ada rasa pesimis dan belum siap. Namun berbekal Bismillah, ya saya mencoba yang terbaik
walaupun hasilnya tak begitu bagus.
Sekarang, ayah juga sudah berubah. Yang dulunya belum tertarik
beinvestasi ke surga, sekarang beliau sangat bersemangat dalam beribadah (Efek Umrah).
Bahkan beliau mulai untuk belajar mengaji. Alhamdulilah,
tak ada kata terlambat untuk berbuat baik. Karena melihat kehidupan diri sendiri,
timbul keinginan suatu saat ketika menjadi seorang ibu, saya ingin mendidik anak ilmu agama sedari kecil. Tak mau anak saya mengalami “telat” dalam
mengenal Tuhannya, yaitu Allah SWT. Tak ada yang perlu disesalkan, yang terjadi
biarlah menjadi catatan sendiri, yang terpenting adalah bagaiamana kesiapan
menghadapi masa depan. Pesan saya adalah “Kenalilah Tuhanmu agar Engkau Bahagia”
(Judulnya mirip kajian milik Ust. Khalid).