POTRET KEMAMPUAN BAHASA INGGRIS ANTARA INDONESIA DENGAN BEBERAPA NEGARA ASIA
14.38NB: Negara yang dimaksud adalah Filiphina, Malaysia, dan India karena penulis hanya mempunyai teman dari negara-negara tersebut. Sumber tulisan didapat dari hasil wawancara dan berbagai sumber.
Ide pembuatan tulisan ini muncul beberapa tahun lalu, sebenarnya,
dikarenakan saya merasakan perbedaan drastis dalam konteks kemampuan Bahasa
Inggris antara orang-orang Indonesia dengan orang-orang Asia (negara yang saya
maksud di atas). Bermula dengan berteman dengan beberapa orang dari berbagai
penjuru dunia, khususnya Asia, telah membuka mata saya jika kemampuan Bahasa
Inggris orang Indonesia bisa dikatakan tak sebagus dengan beberapa orang dari negara-negara
tersebut.
Setelah melakukan suvei sederhana, berdasarkan EF EPI (the World’s Largest Ranking of English Skill)
didapatkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-32 dari 72 negara dengan skor
52,94 (Link akan saya kasih di akhir
tulisan). Sedangkan Malaysia berada di peringkat ke-12, Filiphina di peringkat
ke-13, dan India di peringkat ke-22. Lalu, karena penarasan, saya bertanya ke
teman-teman mengenai sistem pembelajaran Bahasa Inggris di negara mereka.
Sekadar ingin tahu agar bisa membandingkan.
Dimulai dengan teman dari India yang saya temui sekitar tiga tahun
lalu ketika ia melakukan kegiatan sosial di Malang. Ia berkata bahwa Bahasa
Inggris telah menjangkau semua kalangan masyarakat, tak peduli kasta (di India
masih ada sistem Kasta). Bahkan tak sedikit orang India yang justru lebih mahir
dalam Bahasa Inggris daripada Bahasa Nasional mereka, yaitu Hindi. Hal ini
dikarenakan pemerintah India sangat mendukung penggunaan Bahasa Inggris dan
bahkan memberi subsidi kepada seuruh warga untuk belajar Bahasa Inggris secara
GRATIS. Bukan hanya itu, buku-buku pelajaran juga sudah dicetak dalam Bahasa
Inggris sedari mereka di tingkat awal sekolah (Swasta dan Negeri). Tak heran,
anak-anak kecil, tukang becak, mahasiswa, pejabat bisa berbahasa Inggris dengan
lancar (Tidak hanya golongan pelajar). Jika kalian cermat ketika menonton drama
atau film India, banyak dokumen yang tertulis dalam Bahasa Inggris. Mereka juga
bercakap sehari-hari menggunakan Bahasa Inggris. Oh iya, menurut saya, aksen
orang India dalam berbahasa Inggris sangat khas. Hm…Bagaimana menjelaskannya
ya, coba saja dengarkan mereka berbicara. Pasti sangat khas, dan berbeda dengan
aksen orang dari negara lain.
Selanjutnya adalah
Filiphina. Saya mempunyai beberapa kenalan secara virtual lewat salah satu
Media Sosial (tidak pernah bertatap muka). Kata mereka Pendidikan Bahasa
Inggris diberikan kepada pelajar sejak kelas 1 Sekolah Dasar. Sampai di kelas
3, beberapa buku mata pelajaran telah dicetak dengan Bahasa Inggris. Tak heran,
ketika dewasa mereka sudah dapat berbahasa Inggris dengan lancar. Berdasarkan
data Kementrian Pariwisata Filiphina, sebanyak 93,5% persen penduduk Negara
tersebut fasih bercakap Bahasa Inggris. Selain sistem pendididkan yang
mendukung, ekosistem juga menjadi bagian penting dalam perkembangan kemampuan
berbahasa Inggris. Misalnya, rambu-rambu lalu lintas di Negara tersebut telah
menggunakan dua bahasa, yaitu Tagalog dan Inggris. Masih seperti India,
masyarakat juga turut mendukung penggunaan Bahasa Inggris dalam lingkungan
sehari-hari. Banyak kenalan saya dari Filiphina adalah seorang penulis fan-fiction bahkan di usia yang sangat
muda. Saya sangat terkesan dengan kemampuan mereka ;)
Di Malaysia hampir sama dengan Filiphina. Siswa di tingkat awal
sekolah telah diajari Bahasa Inggris, dan buku-buku juga sudah dicetak dalam
Bahasa Inggris. Di rumah-rumah di Malaysia, Bahasa Inggris sering digunakan
(lagi-lagi faktor lingkungan) dalam percakapan sehari-sehari antar anggota
keluarga maupun teman. Bahkan beberapa telah menerapkan Bahasa Inggris sebagai mother-tongue (Bahasa Ibu/Utama) di dalam
rumah. Tak hanya itu, Bahasa Inggris juga telah digunakan di beberapa sektor,
seperti transaksi, komunikasi internet, iklan, industri hiburan dan lain-lain,
tak hanya melulu di lingkup pendidikan.
Dari gambaran ketiga tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa,
baik pemerintah, maupun masyarakat secara personal telah mengerti betapa
pentingnya penggunaan Bahasa Inggris, apalagi kita sekarang menghadapi era MEA
(Masyarakat Ekonomi Asia) dimana persaingan kerja di Indonesia, tak hanya
berasal dari penduduk pribumi, namun dari negara lain. Pemerintah ketiga negara
tersebut bisa dikatakan berhasil mengingat peringkat ketiga negara tersebut
bagus (jika dibandingkan dengan Indonesia). Di Indonesia sendiri, setahu saya,
pembelajaran Bahasa Inggris sudah lumayan namun masih kurang. Di
sekolah-sekolah, misalnya. Murid-murid tak hanya belajar di dalam kelas namun
ada kegiatan ekstrakurikuler Bahasa Inggris, debat, dan lain-lain.
Secara pribadi, minat siswa adalah faktor utama. Dan ini merupakan
titik kelemahan negara ini dibanding negara tersebut. Tak sedikit siswa yang
belajar Bahasa Inggris karena “nilai”, jika sudah mendapatkan target, ya sudah.
Tak ada tindak lanjut. Selain itu, cara mengajar guru di kelas. Ketika SMA
kelas X, saya mendapatkan guru Bahasa Inggris yang sangat menyenangkan. Di
dalam kelas, kami tak hanya belajar textbook
tapi kami belajar praktek lebih banyak. Misalnya praktek menjadi seorang
pembawa berita, pementasan drama, membuat tutorial apapun (sesuai kemampuan),
bahkan membuat MV cover juga. Ketika
kuis, kuisnya bukan paper-based namun
presentasi langsung dengan topik yang telah ditentukan oleh guru. Hal ini
sangat berbeda ketika saya berada di kelas XI dimana pembelajarannya full textbook jadi saya merasa bosan dan
ngantuk. Mungkin tidak semua orang seperti saya namun setidaknya, guru harus
bisa membuat para siswa untuk lebih giat mempelajari sesuatu, bukan sekadar
membaca bukunya.
Untuk penggunaan text books berbahasa
Inggris, mungkin menteri pendidikan bisa mencontoh ketiga negara tersebut.
Setahu saya, hanya sekolah RSBI atau SBI yang memakai text books berbahasa Inggris (Jika saya salah, tolong dikoreksi). Sekolah
saya dulu adalah RSBI dengan text books bilingual.
Selama ini mungkin terdengar simpang siur mengenai sekolah berstatus
internasional dimana biayanya lebih mahal karena di kelas wajib ada AC, wajib
mempunyai laptop, dan lain-lain.
Namun akhirnya status ini dihilangkan.
Menurut pengalaman pribadi, masih banyak orang Indonesia yang mempunyai
mindet seperti “Belajar bahasa
Inggris hanya untuk mereka yang kuliah di luar negeri.” Atau “Pokoknya bisa
sedikit aja lumayan.” Kurang lebih seperti itu. Menurut saya itu adalah
pemikiran yang kuno dan tidak cocok dengan zaman sekarang. Faktor yang tak
kalah penting adalah lingkungan. Berhenti mengejek “sok bule” ketika kita
berbicara Bahasa Inggris. Sampai kapan mindset
kita akan seperti itu? Bagaimana kita bisa maju jika mau belajar saja masih
diejek? Sudah itu, saja. Semoga bermanfaat.
0 komentar