BUNGA TERATAI (Hidup tapi Mati dan Mati tapi Hidup)

14.37


Sebenarnya, ide tulisan ini didasarkan pada tulisan salah tau vlogger Indonesia (Vina Aulia) di blog nya dengan judul “What is the Purpose of My Existence?” yang isinya, kurang lebih sama persis dengan apa yang saya rasakan dan takuti selama 22 tahun hidup di dunia. Ini adalah satu kutipan dari isi artikelnya:

“Namun, semakin saya tahu, semakin saya takut. Saya takut jika saya tidak bisa membantu lebih. Saya takut jika saya hanya hidup untuk bangun makan dan tidur lagi. Karena saya tahu, saya hanya partikel kecil di hidup ini. Suara saya mungkin tak terdengar, muka saya mungkin tak terlihat, eksistensi saya bisa jadi tak berharga. Dibanding mereka yang berada di luar kotak kenyamanan, yang berdiri di barisan depan. Yang menyerukan ‚kebenaran’, yang bertindak atas suatu alasan. Maka dari itu pertanyaan „what is the purpose of my existence?“ harus saya jawab.”

Ada kalanya seseorang berpikir demikian, apa sih sebenarnya yang bisa kita lakukan untuk dunia? Jangankan dunia, bahkan untuk diri sendiri saja belum bisa. Hal ini tentu saya rasakan, apalagi dalam keadaan saat ini di mana saya belum mendapatkan apa yang saya inginkan sedangkan teman-teman yang lain sudah pada upload foto pencapaian mereka bahkan sebagian ada yang sudah melenggang ke pernikahan juga (Alhamdulillah). Sedangkan diri sendiri hanya bisa merasa jelly, menulis apa adanya dengan sedikit rasa desperate, bingung menyiapkan jawaban dan memberanikan diri untuk bertemu dengan kerabat ketika ada pertanyaan pamungkas mengenai pencapaian.  
Seperti yang dikatakan mbak Vina, saya takut jika hanya hidup untuk bangun dan tidur lagi. Itu adalah ketakutan terbesar saya, tak bisa melakukan apa-apa. Merasa seperti sampah, jikapun sampah itu dilenyapkan, tak akan membebani lingkungan sekitar dan tak berdampak berarti bagi sekitar (hanya ada dampak positif). Ini bisa menjadi jawaban atas judul postingan saya, Bunga Teratai, hidup tapi mati dan mati tapi hidup. Mengapa bisa Bunga Teratai? Silakan dicari sendiri alasannya (yang nonton Rooftop Prince Prince pasti tahu). 
Kembali ke topik, layaknya Bunga Teratai, terkadang saya merasa hidup tapi mati karena secara fisik, saya menjalani apa yang dilakukan oleh manusia pada umumnya. Makan, tidur, membaca, dan lain-lain. Di sisi lain psikologi, saya merasa seperti mayat yang tak bisa berkontribusi apa-apa. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, hidup layaknya sampah. Maaf tulisan ini memang terdengar sangat desperate but it is.
Teringat ketika menonton salah satu film India berjudul “Three Idiots”, dalam salah satu scene nya terdapat perkataan kurang lebih seperti ini “Kita merasa sedih jika teman kita gagal. Dan kita akan lebih sedih ketika melihat teman kita lebih sukses.” Believe or not, it works in our society. It’s not really villainous feeling but more like self-depressing buat kita, para penonton teman yang mendapat kesuksesan terlebih dahulu. Saya tidak tahu sampai kapan akan menjadi Bunga Teratai ini. Hidup layaknya Bunga Teratai adalah hal yang sangat mengerikan, probably the last thing to do before dying.
Tersadar bahwa saya hanyalah Bunga Teratai, saya memulai untuk hidup dengan membantu sesama, setidaknya itulah yang bisa dilakukan saat ini. Dimulai dari keluarga. Pinsip saya sekarang adalah “Jika tidak bisa membanggakan atau membahagiakan orang, setidaknya jangan merepotkan.” Ya, inilah yang sedang saya lakukan, berusahan untuk tidak merepotkan dan sedikit membantu. Semoga status sebagai Bunga Teratai ini segera berakhir. Amin :’)

Update: Setelah mendengarkan ceramah Ust. Khalid Basalamah (lupa judulnya), anggap saja tulisan di atas tidak pernah ada. Allah SWT sangat membenci orang yang pesimis (wait, it does look like I am). 

You Might Also Like

0 komentar